Oleh: Agus Rojak Samsudin
Wisuda sejatinya bukan sekadar seremonial pemindahan tali toga, melainkan sebuah deklarasi kesiapan mental dan intelektual untuk diuji oleh laboratorium kehidupan yang sesungguhnya. Pesan fundamental ini menjadi inti dari orasi ilmiah yang disampaikan oleh Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo, dalam Wisuda ke-6 Institut Agama Islam Al-Zaytun Indonesia.
Dalam pidato yang disampaikan dengan gaya bertutur yang khas—santai namun menohok—beliau tidak hanya memberikan nasihat kepada para wisudawan, tetapi secara tersirat memberikan "pekerjaan rumah" besar bagi para pengelola perguruan tinggi tentang bagaimana mencetak profil lulusan yang autentik.
![]() |
| Gambar 1: Prof. Dr. KH. Imam Suprayogo saat menyampaikan orasi ilmiah. Beliau menegaskan bahwa wisuda hanyalah "lulus tahap pertama", sebuah fase seleksi bibit sebelum ditanam di lahan masyarakat yang sesungguhnya. |
Bagi Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (HES), pidato ini menawarkan perspektif strategis yang sangat relevan dengan upaya pemenuhan instrumen akreditasi, khususnya dalam mengejar predikat Unggul. Berikut adalah elaborasi mendalam dari poin-poin penting pidato beliau yang dikontekstualisasikan dengan standar mutu pendidikan tinggi (BAN-PT).
1. Wisudawan sebagai "Bibit Unggul" dan Standar Luaran (Outcome)
Prof. Imam Suprayogo menggunakan analogi agrikultur yang sangat kuat: wisuda di kampus hanyalah "lulus tahap pertama". Beliau mengibaratkan para wisudawan sebagai biji yang telah lolos seleksi menjadi bibit unggul. "Lulus yang sebenarnya," tegas beliau, "adalah ketika tanaman ini tumbuh di tanah-tanah masyarakat." Ujian di masyarakat jauh lebih berat dan kompleks dibandingkan ujian kertas di ruang kuliah.
Perspektif Akreditasi (Standar Luaran dan Capaian Tridharma): Pernyataan ini beresonansi kuat dengan Kriteria 9 dalam instrumen akreditasi yang menekankan Outcome-Based Education (OBE). Kualitas Prodi HES tidak lagi dinilai sekadar dari tingginya IPK lulusan, melainkan dari keberhasilan lulusan di dunia kerja dan masyarakat.
Filosofi "bibit unggul" ini menuntut Prodi HES untuk memastikan mekanisme Tracer Study berjalan efektif. Indikator keberhasilan prodi adalah kesesuaian bidang kerja (job alignment) dan kepuasan pengguna lulusan (user satisfaction). Kurikulum HES harus dirancang untuk menghasilkan alumni yang "tahan banting" dan adaptif, baik sebagai hakim, praktisi ekonomi syariah, maupun sharia entrepreneur.
2. Kritik atas "Ilmu Mabuk": Integrasi Teori dan Praktik (Amaliah)
Salah satu kritik tajam yang disampaikan Prof. Imam adalah fenomena akademisi yang "mengatakan apa yang tidak dikerjakan". Mengutip tafsir kontekstual Surah An-Nisa ayat 43, beliau menyindir perilaku "mabuk intelektual": banyak berkata-kata teori namun tidak memahami esensi barang yang dikatakannya karena tidak pernah mempraktikkannya.
Beliau mencontohkan ironi di banyak institusi: "Fakultas Pertanian tapi dosennya tidak bertani, Fakultas Ekonomi tapi dosennya miskin." Di Al-Zaytun, beliau mengapresiasi pola pendidikan Syekh Panji Gumilang yang mengajarkan kemandirian melalui praktik langsung (beternak, bertani), sehingga ilmu tidak berhenti di kerongkongan.
Perspektif Akreditasi (Standar SDM dan Proses Pembelajaran): Bagi Prodi HES, ini adalah autokritik yang membangun untuk pemenuhan Kriteria SDM. Dosen HES Unggul tidak boleh hanya menjadi "penyampai teks" kitab kuning atau undang-undang semata.
Praktisi Mengajar: Dosen harus memiliki pengalaman praktis atau rekognisi industri. Dosen HES idealnya terlibat sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS), mediator, atau konsultan bisni
Metode Pembelajaran: Proses pembelajaran (Kriteria 6) harus bergeser dari teacher-centered menjadi Project-Based Learning atau Case Method. Mahasiswa HES harus diajak mensimulasikan akad mudharabah secara riil, bukan sekadar menghafal rukun dan syaratnya.
3. Visi Internasionalisasi dan Regenerasi yang Melampaui Guru
Prof. Imam juga menyoroti pentingnya visi global. Beliau mendorong agar institusi pendidikan Islam di Indonesia, seperti Al-Zaytun, memiliki kepercayaan diri untuk bersaing dengan universitas di Timur Tengah maupun Barat. Visi "Rahmatan Lil Alamin" harus dimaknai sebagai kemampuan lulusan untuk berkiprah di panggung dunia.
Lebih jauh, beliau menekankan aspek regenerasi. Keberhasilan pendidikan diukur ketika murid mampu melampaui gurunya. "Apakah kelak saat usia 80 tahun, saya bisa berprestasi seperti Syekh Abdus Salam Panji Gumilang?" tantang beliau kepada para wisudawan.
Perspektif Akreditasi (Visi, Misi, dan Keberlanjutan): Akreditasi Unggul mensyaratkan daya saing internasional. Pesan ini menjadi landasan bagi Prodi HES untuk:
- Meningkatkan kerjasama internasional yang fungsional (bukan sekadar MoU di atas kertas).
Mendorong mobilitas mahasiswa dan dosen ke kancah global.
Membangun ikatan alumni yang kuat. Alumni yang sukses dan "melampaui gurunya" adalah aset terbesar prodi yang akan menopang keberlanjutan (sustainability) institusi melalui jejaring, reputasi, dan kontribusi balik.
Kesimpulan
Pidato Prof. Imam Suprayogo di Wisuda ke-6 IAI Al-Zaytun bukan sekadar retorika panggung, melainkan cetak biru (blueprint) pendidikan tinggi Islam masa depan. Bagi Prodi HES, pesan beliau adalah alarm untuk terus berbenah: menyusun kurikulum yang membumi, memastikan dosen yang kompeten dan praktis, serta bervisi global.
Hanya dengan cara inilah, predikat "Unggul" dalam akreditasi bukan sekadar stempel administratif, melainkan cerminan kualitas sejati dari lulusan yang siap menjadi rahmat bagi semesta alam.




0 Komentar