Indramayu, Ahad, 29 Juni 2025 Gagasan revolusioner untuk mentransformasi wajah pendidikan di Indonesia digulirkan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Unpas, dan UGJ, Prof. Dr. I Gede Pantja Astawa, S.H., M.H. Dalam pemaparannya, Prof. Pantja Astawa mengemukakan pentingnya Revolusi Pendidikan sebagai perubahan radikal dan transformatif menuju pendidikan berkualitas, yang diusung dengan pendekatan hukum dan kearifan lokal.
gambar 1 Syah Panji Gumilang pada saat penyampain materi
Jurang Antara Cita-cita dan Realita
Prof. Pantja Astawa menyoroti adanya kesenjangan antara Das Sollen (cita-cita ideal) dan Das Sein (realitas di lapangan) dalam pendidikan nasional. Secara ideal, pendidikan kita berlandaskan Pancasila, UUD 1945, UU No. 20/2003 Sisdiknas, dan RPJPN 2025–2045 yang mengamanatkan inklusi, pemerataan, tata kelola, serta riset dan inovasi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan berbagai permasalahan pelik, antara lain ketimpangan akses dan kualitas pendidikan, kurikulum yang sering berubah tanpa "grand design" yang jelas dan belum responsif terhadap kebutuhan abad 21, kualitas pengajar yang rendah, fasilitas pendidikan yang minim, serta anggaran pendidikan yang dianggap belum memadai.
gambar 2 peserta pelatighan
Hukum sebagai Sarana Rekayasa Sosial dan Pembangunan
Untuk menjembatani kesenjangan ini, Prof. Pantja Astawa mengusulkan pendekatan hukum melalui Sociological Jurisprudence, di mana hukum dipandang sebagai alat rekayasa sosial (Roscoe Pound). Hal ini berarti hukum hidup harus mencerminkan nilai-nilai masyarakat dan berfungsi untuk mengatur serta menyalurkan arah kegiatan masyarakat demi kemajuan.
gambar 3 Peserta pelaku peserta didik
Lebih lanjut, ia menekankan Teori Hukum Pembangunan dari Mazhab UNPAD yang digagas oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja, yang melihat hukum sebagai sarana pembangunan yang mengedepankan keteraturan dalam perubahan. Prof. Sjahran Basah juga menambahkan bahwa hukum berperan sebagai pengarah pembangunan.
Dengan demikian, peran hukum dalam pendidikan sangat krusial sebagai pengatur sistem, katalisator perubahan, memberikan ruang diskresi untuk kebijakan adaptif, serta memastikan adanya peraturan dan kebijakan yang sinergis.
Kearifan Lokal: Fondasi Nilai dan Karakter Bangsa
Di sisi lain, pendekatan kearifan lokal menjadi pilar penting untuk memperkaya revolusi pendidikan. Konsep Living Law yang berakar pada nilai-nilai hidup dalam masyarakat, kearifan lokal sebagai hasil budaya, agama, adat, dan tradisi, serta etika dan moral menjadi dasar etika bagi pendidik dan peserta didik.
Prof. Pantja Astawa mencontohkan bagaimana kearifan lokal dapat diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan, baik nasional maupun lokal. Misalnya, Pancasila sebagai kristalisasi nilai luhur bangsa, filosofi Jawa "Tut Wuri Handayani", nilai-nilai seperti gotong royong, cerita rakyat, adat istiadat, hingga penggunaan bahasa daerah sebagai sarana pendidikan.
Secara spesifik, ia menyoroti nilai pendidikan dari budaya Sunda yang sangat relevan: Silih Asih (saling mengasihi), Silih Asah (saling mengembangkan), Silih Asuh (saling membimbing), serta prinsip Cager (sehat), Bageur (baik hati), Pinter (pintar), dan Singer (rajin).
Integrasi Harmonis untuk Pendidikan Berkarakter
gambar 4 para dosen iai al azis
Prof. Pantja Astawa menyimpulkan bahwa integrasi hukum dan kearifan lokal adalah kunci. Hukum akan memberikan dasar regulasi dan kebijakan yang kuat, sementara kearifan lokal akan memperkuat nilai dan relevansi pendidikan. Dengan demikian, pendidikan akan menjadi lebih kontekstual dan berkarakter, yang pada akhirnya akan mengarah pada sistem pendidikan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
"Melalui sinergi antara kerangka hukum yang kokoh dan kekayaan nilai kearifan lokal, kita dapat mewujudkan revolusi pendidikan yang benar-benar membawa perubahan positif dan berkelanjutan bagi masa depan bangsa," pungkas Prof. Pantja Astawa.
Penulis Mahasiswa HES : Misbah & Ilyas
0 Komentar